Indonesia Bertabur Laskar Pelangi

Maaf, judul di atas cuma mimpi di siang bolong. Meski demikian, bagi Anda yang telah menonton film Laskar Pelangi, lirik lagu Nidji saat film berakhir pastilah terngiang di telinga. Mengingatkan kita pada kepolosan dan optimisme masa kecil, mempertanyakan prinsip rasionalitas yang saat ini terlanjur kita percaya. Mimpi adalah kunci… Untuk kita menaklukkan dunia…

Sayangnya, mimpi dan air mata sepertinya tak cukup. Hati haru jutaan penonton Laskar Pelangi  bisa saja tak berarti apa-apa. Meski demikian, seperti juga Anda, saya pun diam-diam tetap meneteskan air mata melihat kesungguhan Bu Mus mendidik, keikhlasan Pak Harfan memberi, perjuangan Lintang memperbaiki nasib. Adegan Lintang kecil memegang sepeda tua besarnya lantas berucap, “Namaku Lintang Bu. Aku nak sekolah”, selalu menggetarkan hati.

Sepanjang film diputar saya pun masih terus menangisi diri sendiri. Mengutuki diri yang masih saja merasa kurang di tengah kecukupan, yang mudah tergoda dengan iming-iming materi, yang sedikit-sedikit menyerah pada tantangan, yang sering merasa ketakutan pada hantu masa depan. Saya juga menangisi anak-anak saya yang tak sempat diasuh Bu Mus, menangisi budi luhur Pak Harfan yang kini jarang saya temui. “Hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya.” Ah, adakah yang masih memegang erat kalimat Pak Harfan itu dalam hati?

Menonton film Laskar Pelangi membuat saya makin sadar akan kerinduan yang membuncah. Kerinduan untuk pulang pada ketulusan, keramahan, kasih sayang, kesederhanaan, dedikasi tanpa pamrih, cita-cita, impian. Masih bisakah kita mempercayai semua itu?

Seharusnya ya. Tapi memang tak mudah untuk percaya pada ketulusan saat kita melihat para guru yang berbondong-bondong mengikuti sertifikasi tak jua mendapat tunjangan profesi bagi yang lulus. Tak ada yang lebih menyakitkan saat melihat guru, seseorang yang telah mengentaskan kita dari jurang kebodohan, harus bersikeras ‘meminta’ sesuatu yang memang menjadi haknya. Tidakkah seharusnya Pemerintah menyegerakan ‘memberi sebanyak-banyaknya’ seperti kalimat Pak Harfan? Namun, tidakkah para guru yang terhormat seharusnya juga berusaha memberi yang terbaik bagi murid-muridnya, menghindari jebakan formalitas mekanisme sertifikasi? Lantas bekerja sebaik mungkin, menolak anggapan bahwa tunjangan profesi guru takkan meningkatkan kualitas pendidikan? Atau saya cuma bermimpi?

“Sekolah ini tidak boleh tutup. Karena ini adalah sekolah yang keberhasilan muridnya tidak semata dilihat dari nilai-nilai. Tapi dari hati.” Sekali lagi, saya meneteskan air mata saat Pak Harfan mengucapkan kalimat agung dalam film itu. Rindu sekali saya padanya. Ingin rasanya anak saya bisa diasuh oleh guru seperti beliau. Sosok Harun yang terbatas secara intelektual tetapi terlihat bahagia merayapi hati. Akankah para guru yang telah lulus sertifikasi, yang saat ini tengah memperjuangkan hak-haknya, bisa sedikit saja mengobati kerinduan hati masyarakat? Bisakah harapan agar mereka berperan sebagai pendidik, dan tidak semata sebagai pengajar terpenuhi? Bisakah mereka berperan layaknya Bu Mus dan Pak Harfan bagi Laskar Pelangi? Atau lagi-lagi, saya hanya bermimpi?

Namun, mimpi juga yang telah membawa Andrea Hirata meraih S2 di Sorbonne, Paris. Mimpi juga yang telah menguatkan Lintang mengayuh sepeda hingga 40 kilometer setiap hari. Dalam hujan dan terik. Tanpa alas sepatu. Bertahun-tahun. Mimpi akan kehidupan yang lebih baik.

Seorang guru SD tempat anak saya bersekolah berkata, “Pak, saya tahu kalau kurikulum kita terlalu berat untuk anak didik. Tapi apa yang bisa dilakukan, kalau bahkan pakar pendidikan di Pemerintah Pusat, yang telah sekolah hingga S3 di luar negeri saja tak bisa mengubahnya? Mereka yang sangat tahu akan teori pendidikan saja tak berdaya, apalah kami.” Waktu itu saya hanya manggut-manggut setuju.

Seharusnya tidak. Seharusnya saya tak manggut-manggut. Bu Mus yang tinggal di pedalaman Belitong saja bisa menghasilkan Laskar Pelangi. Sekumpulan anak-anak yang berangkat ke sekolah dengan bahagia, berani bermimpi, berani memperjuangkan cita-citanya. Apa yang terjadi jika Bu Mus menyerah pada kenyataan hidup, lari dari murid-murid tak beralas kaki, mengambil pilihan realistis dengan mengajar di SD PN Timah Belitong dengan segala fasilitasnya?

Sudah saatnya guru-guru di Indonesia dengan dukungan warganya menciptakan sekolah yang baik untuk anak-anaknya. Sekolah yang tidak hanya hebat dari segi penampilan fisik. Sekolah yang tak hanya bangga menulis spanduk “Siswa Kami Lulus 100%”. Tapi membuat sekolah, yang menurut AS Neill, menjadi tempat dimana ketidakbahagiaan anak-anak disembuhkan, dan anak-anak diasuh dan dididik dalam kebahagiaan.Bukan dalam pola keseragaman dan kekuasaan.

Hidup terbentuk dari pilinan impian dan kerasnya kenyataan. Namun bukan berarti kita harus menyerah. Mimpi memang tak membawa kita kemana-mana. Seperti kalimat terakhir tokoh Paulo Coelho di tepi sungai Piedra, “Impian berarti bekerja.” Hanya bekerja? Ternyata tidak.

Dengarkanlah lebih dalam lagu penutup film Laskar Pelangi. Mimpi adalah kunci.. Untuk kita menaklukkan dunia… Berlarilah tanpa lelah… Sampai engkau meraihnya…

Mari kita bekerja tanpa lelah. Rekan-rekan Pak Harfan dan Bu Mus bekerja keras di sekolah, sedang kami para orang tua, bekerja keras di rumah. Membahagiakan anak-anak, mendidik mereka, memupuk keberanian bermimpi, mengasah etos kerja keras. Mari menabur Laskar Pelangi di nusantara.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: