oleh dr. M. Yusuf Suseno
Dirgo (nama samaran), seorang penderita HIV/AIDS (ODHA) stadium 4 yang ditolak pulang oleh warga seputar tempat tinggalnya di Surabaya bukan yang pertama mengalami nasib nahas itu. Mungkin juga bukan yang terakhir (Jawa Pos 29/6/08). Untuk kalangan medis pun, menghadapi dan merawat seorang penderita ODHA bukan perkara mudah.
Apalagi bagi masyarakat awam. Sebagian besar kita masih memiliki rasa enggan, mirip perasaan suci yang dimiliki seorang rahib Bani Israil, saat seorang pemuda bertanya, “Aku telah membunuh 99 manusia, masih adakah jalan bagiku untuk bertobat?”(HR Bukhari/Muslim). Tidak ada. Jawaban singkat itu mewakili kesombongan sebagian besar manusia. Seakan merekalah yang memiliki pintu-pintu surga.
Padahal, siapa tahu kalau sebenarnya pintu tertutup untuk ODHA adalah pintu Tuhan yang terbuka? Pintu terbuka yang mengajarkan ODHA memanfaatkan sisa hidup dan mengakhirinya dengan layak. Dan mungkin pintu terbuka untuk kita agar bisa berkaca, lebih rendah hati, dan akhirnya mati dengan layak pula. Kematian yang belum tentu lebih mulia dibanding mereka.
Penolakan warga itu sekaligus menggambarkan ketidaktahuan masyarakat tentang permasalahan HIV/AIDS di Surabaya. Layaknya puncak gunung es, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat. Pasien di Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi (UPIPI) RSU dr Soetomo terus bertambah. Tiap hari hampir selalu hadir pasien baru yang datang berobat di unit khusus tersebut. Sering, UPIPI kehabisan tempat tidur untuk menampung luapan pasien yang opname. Sebagian dari mereka ada di stadium akhir penyakit AIDS.
Kini HIV/AIDS bukan lagi penyakit milik para pecandu narkotika, homoseksual, wanita PSK, dan pria penggunanya. HIV/AIDS adalah penyakit yang penyebarannya telah menggerogoti sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Menurut UNAIDS, badan PBB yang mengurusi HIV/AIDS, sampai akhir 2006 diperkirakan terdapat sekitar 170.000 orang dengan HIV di Indonesia. Adalah tidak mungkin jika semuanya diisolasi, dirawat, dan ditampung di rumah sakit.
Pada 2007 lalu, Dinkes Jatim memperkirakan jumlah penderita AIDS akan mencapai 13 ribu orang lebih di Jawa Timur. Tentu saja dengan Surabaya sebagai top scorer. Karena itu ya, sudah saatnya masyarakat Surabaya tak lagi mengandalkan rumah sakit pemerintah untuk menampung penderita ODHA stadium akhir. Terlalu banyak ODHA untuk sebuah rumah sakit rujukan di Surabaya. Jumlah yang akan terus bertambah.
Apalagi karena masih ada sumber penularan HIV di Surabaya yang dibiarkan hidup di tengah kota oleh pemerintah dan masyarakat. Satu sisi kita menolak Dirgo, di sisi lain kita menerima Dolly sebagai ciri khas kota Surabaya, Kota Prostitusi (dengan P besar). Menurut KPA, ada sekitar 9.125 perempuan PSK di Surabaya. Sedangkan jumlah pria pemakai jasa mereka mencapai 133.776 orang, termasuk di dalamnya para suami.
Ibu-ibu yang berbisik-bisik membicarakan nasib Dirgo pun tak lepas dari ancaman HIV/AIDS. Apalagi para lelaki pengguna PSK. Tidakkah mereka tahu kalau kondom, yang menjadi andalan mereka hanya memiliki efektifitas 85 persen di dunia nyata?
Albert Camus dalam novel La Peste menulis, cara termudah untuk mengenal sebuah kota adalah dengan mengetahui bagaimana penduduk di sana bekerja, bercinta, lalu mati. Kalimat itu sudah terbukti untuk kota Surabaya. Kita memiliki Dolly, lokasi bercinta terbesar di Asia Tenggara. Kita juga punya Dirgo, manusia asing yang ditolak untuk mati di rumahnya sendiri.
Seorang pejabat Depkes pada suatu kesempatan memperkirakan ada 10 bayi yang lahir dengan HIV di Indonesia setiap hari. Mereka lahir dari rahim Ibu penderita HIV/AIDS, yang jumlahnya terus membuih. Di RSU Dr Soetomo misalnya, mulai 2000 hingga Maret 2007, tercatat 180 penderita HIV/AIDS perempuan se-Jatim. Sejak pertengahan 2006 rata-rata terdapat tiga pasien perempuan per bulan jika dibanding dulu yang hanya satu per bulan.
Di sebuah daerah di pelosok Afrika, wabah HIV/AIDS sudah begitu dahsyat hingga setiap minggu digali beberapa kuburan baru. Tiap minggu pula terlahir bayi yatim yang positif HIV, bayi yang beberapa saat mendatang menjadi yatim piatu karena sang ibu juga akan meninggal akibat AIDS. Sebelum pada akhirnya mereka juga menyusul. Meski belum sedahsyat itu, siapa tahu Surabaya tengah menuju ke sana?
Sebut saja Sumbi, seorang perempuan yang pernah duduk berhadapan dengan saya di ruang tunggu UPIPI RSU Dr Soetomo. Wajah manisnya terkesan tua, tampak kusut dengan mata cekung bergurat lelah. Ia berumah di satu desa di pelosok Lamongan. Suaminya, seorang sopir yang bekerja di luar kota, baru saja meninggal karena AIDS. ”Saya sekarang sendiri Dok. Saya positif,” kata perempuan itu singkat menyentak.
Begitu juga dengan Sumi dan Nana (bukan nama sebenarnya), dua orang balita yatim piatu dari Surabaya yang mengidap HIV. Tidakkah mereka juga berhak untuk hidup layak, dan kemudian mengakhiri hidupnya dengan mulia?
Suatu hari, seorang jurnalis bertanya pada seorang ODHA yang putus asa. “Mengapa tak belajar menjadi daun, yang tetap bermanfaat bagi kehidupan kendati telah rontok ke tanah? Dimana saat layu dan kering, ia bisa menjadi kompos, yang kemudian di atasnya tumbuh tunas pohon?” Pertanyaan indah itu begitu menusuk. Meratakan harga diri dan kesombongan saya. Sebagai manusia, tak peduli karena HIV atau karena tertabrak mobil yang tiba-tiba memotong trotoar, kita toh tetap akan mati.
Mungkin sudah saatnya kita belajar dari Dirgo, Sumbi, Sumi dan Nana. Mari kita bantu ODHA untuk belajar menjadi daun dalam sisa hidupnya, dan siapa tahu kita pelan-pelan akan berubah pula menjadi daun. Daun yang tetap bermanfaat meski ia telah layu, kering, rontok dan mati.
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, kebijakan dunia kesehatan, manusia-manusia | Tagged: AIDS, HIV, Kesombongan Manusia, ODHA, Penolakan |
woeits…serem juga ya.
HIV & AIDS bukan lagi menjadi penyakit orang-orang ‘bermasalah’. tapi kini semua orang dengan mudah bisa terkena juga.udah mulai kayak negara2 di afrika.
hmm…
iya…mencoba menjadi manfaat…apapun kondisinya.
kayak Morrie…kayak Syaikh Ahmad Yassin…kayak jendral Sudirman…
pengen jadi sukarelawan ODHA…
Duuh….mirisnya hati ini membaca tulisanmu Mas Dokter. Kalo boleh sedikit cerita, saya dulu pernah bekerja di LSM yang berkecimpung dlm pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan Harm Reduction (pengurangan dampak buruk napza). Berkali-kali saya liat temen2 saya sekarat dan mati satu per satu karena penyakit itu. Tapi yang lebih bikin miris adalah pemerintah sepertinya tidak cukup banyak memberi informasi yang BENAR kepada masyarakat ttg penyakit ini. Walhasil, ODHA seringkali mendapat STIGMA dari mereka : bukan orang baik2, orang2 yg harus dijauhi, ato lebih parah lagi, orang yang kena kutuk !
Weleh…weleh…saya yakin hal ini gak akan terjadi seandainya pemerintah memberikan informasi yang benar sejak dini. Selain masyarakat jadi lebih aware, stigma dan diskriminasi juga bisa diatasi. Bukan begitu Mas Dokter ??
Oh ya..coba sesekali mampir ke http://www.dokterbagus.com
Salam Perjuangan
hmmmmm… *tarik nafas panjang*
semoga orang lebih memahami dan mau menerima ODHA dengan tangan terbuka…
salam
silly
Tulisan yang bagus dok…
Saya pribadi terkadang juga agak menyesali dalam hati,bahwa tak sedikit dari senior dokter pengajar kami ,dengan alasan self precaution,jadi terkesan apriori terhadap px HIV +..
Great appreciate for the essay doc…
Yuli : selamat mencoba jadi sukarelawan.
Lya : thx udah mampir.
mbak Silly : rumah barunya ok?
idham : thx for your comments. nambah semangat.
buat mas hanafi : setuju mas. tapi, apa ya hubungan ODHA dengan KPK? 🙂
salam…
@dokter:
Rumah barunya ok kok dok, thanks for asking. Mampir kalo sempat yach… 😀
Shaloom
odha, perlu ditolong, jangan didiskriminasi. Layani dan perlakukan odha seperti orang sakit lainnya (kanker, jantung, batuk, dll). dengan demikian kita bisa menyembuhkan mereka. Terima merak bekerja sebagaimana layaknya orang sehat, dengan demikian HIV dan AIDS tidak lagi menjadi momok yang seram dan menakutkan.
Hanya saja, tetap jaga diri, jangan lakukan sek bebas, jangan pake narkoba melalui jarum suntik, tapi kalau udah terlanjur, pakelah KONDOM dan kalau memakai jarum, pakelah jarum yang steril.
Salam bagai para ODHA,
dari Nengah Suama
dear
dimasyarakat masih menggap bahwaHIV/AIDS tersebut penyakit yang ditularkan oleh orang yang bekerja sebagai pekerja seks
padahal pada kenyataannya HIV/AIDS itu siapa saja bisa terkena tidak memandang tua atau muda jadi ODHA itu adalah sama seperti kita dan mempunyai hak sama dengan orang yang sehat.. maka stigma yang berkembang dimasyarakat tersebut secepatnya perlu dihapuskan dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat tentang HIV/AIDS. dan satu lagi mitos dan fakta tentang HIV/AIDS sangat perlu diberikan kepada masyarakat agar masyarakat mengerti bahwa orang dengan HIV/AIDS itu tidak perlu dikucilkan karena mereka mempunyai hak untuk memiliki penghidupan yang layak sama seperti kita. oleh karena itu marilah kita berjuang bersama untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS.
mmmmm…. klo tau ada yg kena AIDS, aku baru bisa merasa ‘aduhhh, kasian.’ ato ‘aduh, pasti ga enak kl diasingkan sm orang2’ and the fact aku masih ragu n takut utk menerima mereka… 😦 not this time perhaps, maybe next time, i’ll be ready for that. aamiin…