Di satu siang yang penat aku pulang ke rumah. Berliku memasuki gang, mataku terhenti pada sosok baju coklat pramuka yang berjalan payah ke depan. Seorang anak lelaki, mungkin baru berusia 16 atau 17 tahun, tengah bekerja keras menarik sebuah gerobak penuh sampah. Keringat penuh dan basah. Bau busuk menusuk. Aku merasa kasihan pada anak lelaki berbaju pramuka yang mesti bekerja dengan ribuan bakteri di punggungnya.
Tapi mungkin rasa kasihan itu tak perlu. Saat bersitatap, kulihat ada cahaya di matanya. Senyum tipis menghiasi wajah.
Anak lelaki itu sepertinya tak menyimpan lelah dan rasa sesal. Ia menikmati hidupnya.
Sedang aku? Saat itu pula aku tengah berpikir tentang beban hidup yang belum juga lapang. Tugas2 yang menumpuk. Uang bulanan yang tak jelas. Cita-cita yang masih jauh di awang.
Senyum anak muda itu membuatku merasa sedih. Mungkinkah ia merasa terjebak dalam pekerjaannya sekarang? Atau ia bahagia?
Satu hal yang jelas, mungkin Tuhan tengah mengirim lelaki muda itu agar aku bisa berkaca pada mata dan senyumnya. Hidup tak pernah seutuhnya mudah. Tapi toh ia harus diterima. Lain itu tidak.
Filed under: manusia-manusia, seputar hidupku | Tagged: Pramuka, Sampah |
yup,
anda sekali lagi benar.
kelihatanya saya harus banyak belajar lagi
terima kasih