Kereta menuju Barat melaju cepat. Tempat duduk hanya terisi sebagian. Ada ibu-ibu ngerumpi di depannya. Seorang mahasiswi membawa helm duduk di dekat pintu. Matahari tengah hari terasa menyengat. Tak ada AC. Cuma kipas angin berputar malas di atap kereta.
Lelaki itu duduk sendiri. Dengan ransel berisi laptop dan segumpal pakaian, ia layaknya seorang pengembara. Dan sungguh, bukankah tiap jiwa kita sebenarnya adalah pengembara?
Lelaki itu teringat dengan masa-masa sulit dalam hidupnya. Ketika ia bahkan sempat ’menjual diri’, mengirim surat pada puluhan daerah di Jawa dan Sumatra. Semua percuma. Semua berakhir sia-sia. Tak ada satupun yang bersedia membantu. Meskipun ia berani menukarnya dengan beberapa tahun bekerja di sana. Lantas kini, saat sebuah tempat, yang bahkan sangat dikenalnya menawarkan masa depan, mengapa ia masih berani menolak?
Kereta berhenti sejenak di stasiun Tugu, Jogja. Beberapa penumpang turun. Sedikit yang naik. Masih ada satu jam menjelang ke Kutoarjo. Ia sholat dan berdoa. Pasrah.
Stasiun Kutoarjo tak terlalu besar. Kota ini memang hanya sebuah kecamatan kecil. Ia bahkan belum pernah berhenti di stasiun ini sebelumnya. Hmm, sayang tak ada tempat untuk berkunjung di kota ini, gumamnya dalam hati.
Ia melanjutkan perjalanan dengan bis. Bis ekonomi antar kota terasa lengang. Mungkin itu sebabnya ia mengantuk. Apalagi perjalanan sangat lambat. Tubuh lelahnya remuk digerus goncangan.
Magrib datang saat bis tiba di terminal baru kota Barat, sebuah kota administratif tetapi memiliki perguruan tinggi, dengan fakultas kedokteran pula.
Siapa yang harus kutemui di sini? Menitipkan tas dan kembali, seperti tadi pagi, mandi di kamar mandi umum. Lantas sholat di masjid terminal ketika sebuah sms masuk. Akhirnya saudara sepupunya, salah satu orang yang dikenalnya di kota ini bersedia menjemput. Tapi setelah ini kemana? Kepalanya terasa pusing.
Filed under: perjalanan | Tagged: perjalanan, puzzle |
Tinggalkan Balasan