Lelaki itu turun dari bis dengan wajah mengantuk. Kota di tengah Jawa itu masih sepi. Jam tangannya menunjukkan pukul enam pagi. Rencananya ia akan turun di terminal, tapi seperti biasa, tiba-tiba ia berubah pikiran. Saat rumah sakit tujuannya terlihat di pinggir jalan ia bangkit dan menuju pintu bis malam.
Menapak tanah dan ia mengucek matanya yang kurang tidur. Berangkat dari rumah tengah malam lantas naik bis jam satu dini hari bukan pekerjaan yang menyenangkan. Tapi selalu ada antusiasme tersendiri saat ia hendak bepergian. Denyut nadinya meningkat. Ia bersemangat.
Semangat itu agak mengendur ketika ia tahu kalau rumah sakit tujuannya belum sibuk saat ia datang. Padahal ia sudah menyegerakan mandi di kamar mandi umum yang sempit, diselingi umpatan seseorang yang menunggu karena kebelet. ”Asu!” si pemaki kemudian menghilang. Pukul tujuh tiga puluh sudah lewat, tapi bahkan pintu ruang sekretariat masih terkunci.
Akhirnya ia masuk ke dalam masjid As Syifa, merenung. Akankah perjalananku ini akan bermanfaat? Kenapa tidak berhenti bermimpi, dan menerima tawaran pekerjaan yang menjanjikan itu? Sialan!
Agak siang saat ia memutuskan untuk masuk kembali dan mendapat informasi bahwa seseorang yang ditunggunya berada di poliklinik. Langkahnya sedikit ragu saat menuju ke sana, tapi matanya tak kunjung lelah mencari-cari tulisan papan penunjuk ke poliklinik.
”Permisi, bisa saya bertemu dengan dokter X?” Seorang perawat senior menunjuk pintu. ”Terima kasih.” Hmm, tak selalu orang Jawa ramah, gumamnya dalam hati.
Kebalikan dengan perawatnya, dokter X cukup komunikatif. ”Saya memang sudah ditawari pekerjaan ini, dan saya tahu ini cukup baik. Tapi saya punya cita-cita untuk menjadi pendidik.” Dokter X tersenyum lantas menjawab panjang lebar. Lelaki itu tahu kalau sebenarnya ia sudah berhasil mencuri perhatian Dokter X, tapi apa daya ada satu hal yang belum bisa ia berikan saat ini. Ia belum memegang brevetnya!
Mereka berjabat tangan. ”Terima kasih ya Dik, Anda sudah datang ke saya,” kata Dokter X. Lelaki itu memaksa diri tersenyum. Langkahnya sedikit gontai saat keluar dari ruangan itu.
Duduk di warung depan rumah sakit, dipesannya teh hangat. Sarapan nasi bungkus sambil berpikir. Kemana lagi setelah ini? Utara, barat?
Utara bukan pilihan. Sudah banyak yang bekerja di sana. Bahkan ada dua orang yang menunggu.
Di bis kota ia duduk lantas berpikir tentang pulang ke rumah. Langkahnya terhenti di stasiun. Tak ada kereta menuju rumah siang ini. Ada satu kereta ke Jogja dan ke barat. Duduk di peron, ia merasa sepi. Sendiri.
Angannya melayang pada kota yang menjanjikannya pekerjaan. Kota yang tenang, angin sumilir, dan hidup pastilah akan berjalan mudah. Tapi ia tak begitu suka dengan kemudahan. Seorang kawannya dari jauh menulis surat, kau seorang risk seeker, katanya. Kau akan selalu mencarinya!
Saat kereta menuju barat itu datang, entah kenapa langkah kakinya beranjak menuju loket dan membeli tiket. Ia memutuskan untuk pergi ke Barat. Siapa tahu di sana tersembunyi kunci puzzle masa depannya?
Filed under: perjalanan | Tagged: perjalanan, puzzle |
he..he.. can’t wait to know the next story… hoping u can write more descriptive about ‘barat’…. penasaran sih…bgm dia bisa begitu menentramkanmu…..