Hari ini gelap dan dingin. Matahari terbalut mendung di barat. Kakiku letih dan perih. Air di kantong tinggal setengah liter lagi. Lama kelamaan, berjalan seperti mau bunuh diri. Base camp Bambangan masih terasa di angan-angan.
Tersaruk-saruk di antara semak dan rumput basah kena hujan pagi-siang, lumpur di sepatu tak terkira tebal. Bukk! aku terduduk di lumpur berbatu. Ini sudah yang kedua belas kalinya. Memang keseimbangan yang kumiliki hampir mati inderanya. Terlalu mabuk oleh air hujan dan lumpur.
Ini adalah puncak gunung ketiga yang telah kuselesaikan dalam tourku. Siapa suruh memilih gunung Slamet sebagai pilihan ketiga. Padahal baru dua hari yang lalu aku menyelesaikan Sindoro dan Sumbing. Mestinya aku ke Boyolali dulu menyelesaikan Merbabu atau Merapi. Tapi kalau dilihat dari ongkos yang kupunya, Purbalingga jelas searah dengan Wonosobo. Dan lagi, di Purwokerto aku punya seorang kawan yang bisa kuandalkan untuk menginap barang beberapa hari setelah semua ini selesai. Mungkin.
Selesai ? Kapan aku bisa selesai jika bahkan tiap dua puluh langkah aku berhenti. Nyeri dan pegal menguasai kakiku. Kurasa kali ini aku harus ambil rehat. Membuka tenda dan berpikir. Merencanakan langkah selanjutnya. Masih tiga pos lagi yang mesti kulalui sebelum sampai di basecamp.
Dalam tenda yang agak lembab karena kehujanan di Plawangan semalaman, kumasukkan badan ke dalam sleeping bag dan kurasakan nyeri yang menggigiti persendianku. Dan mulailah aku bicara pada diri sendiri. Aku tahu kalau ini namanya pemaksaan pada diri sendiri. Mungkin pembunuhan berencana pada raga. Memaksakan diri menyelesaikan tiga gunung dengan ketinggian rata-rata 3000 meter di atas permukaan laut dalam waktu kurang dari seminggu adalah satu kebodohan. Tapi aku sudah berangan-angan untuk melakukan ini sejak liburan semester-semester lalu. Dan kini, mumpung aku cuti kuliah satu siklus co ass di rumah sakit, aku harus menyelesaikan tugasku. Ini hutangku pada para leluhur.
Aku jadi ingat saat pertama mendaki gunung Slamet ini bersama Mas Puguh dan Tunjung. Waktu itu pendakianku yang ketiga setelah Ungaran dan Sindoro. Saat turun, disuruhnya aku lari di depan dan dalam jarak kurang dari setengah meter mereka memburuku. Sebagai yang termuda dan terlemah, aku manut saja. Dan syukur, aku bisa sampai di Pos Bambangan dengan selamat. Kuharap hari ini juga.
Waktu aku terbangun, malam sudah menyelimuti sekujur hutan. Suara seekor burung hantu beratus meter dari kedalaman lembah membuat bulu romaku berdiri. Dan di belakangnya kudengar bunyi lain. Kretek….Perutku ternyata ikut berbunyi juga. Dinner time sudah tiba. Kubongkar isi tasku dengan lesu. Aku tahu pasti yang tertinggal di sana cuma sarimi dan air putih semata. Ragu-ragu kututup lagi. Aku tak mungkin memasak lagi. Air di kantong tinggal setengah liter. Itu bekalku satu-satunya untuk pulang. Mungkin lebih baik aku kencing dan kuminum air seniku. Pikiran gila mulai meracuni kepala.
Baru saja kuteguk ludahku saat kudengar suara kresek-kresek di belakangku. Spontan kuraba pisau di pinggang. Kucabut dan sambil ngucap basmalah kubalikkan badan. Di balik tendaku sepasang mata menatapku berkedip-kedip. Hatiku dag dig dug tak karuan.
“Manusia atau bukan?!!”teriakku dalam hati. Sosok itu bergeser dari balik tenda dan melangkah padaku. Ia kelihatannya seperti manusia karena berkaki. Dan ia tertawa.”Kamu Gembel ya!” Suara perempuan itu sepertinya kukenal. Dan ia tertawa lagi. “Inget nggak?” Di punggungnya terpasang ransel gunung. Sumpah! Aku tak ingat siapa dia. Setan kali. “Nggak.”
Pisauku masih terhunus garang, seakan berkata, Kamu mau apa? Membunuhku? Ayo! Ini dadaku. Mana dadamu?Menyadari dadaku yang kurus kerempeng, kusarungkan pisau dan kutatap wajahnya baik-baik. Aku tak ingat siapa dia. Apalagi wajahnya tersembunyi dalam gelap malam. Ah, memoriku memang buruk. Tapi memang beginilah sikapku. Di gunung ya di gunung. Kita bertemu banyak orang, tetapi setelah kulalui gunung itu, maka selesailah semua. Mungkin aku pernah bertemu dengannya di satu gunung. Tapi itu sudah berlalu. Aku terlalu letih buat sekedar berbasa-basi.
“Kalau nggak ingat nggak usah dipaksa. Tapi boleh kan aku masak mie di sini?” Aku mengangguk kaku. Tak tahan pada hawa dingin, aku segera masuk ke dalam tenda. Sengaja pintu tenda tak kututup rapat. Bagaimanapun menyenangkan juga menyadari kalau ada manusia lain di tengah hutan seperti ini.
Aku tahu perempuan itu tengah mencoba mendirikan tendanya sendiri. Aku terlalu capek buat membantu. “Sendirian?”Perempuan itu bertanya lagi. Pertanyaan aneh. Sudah tahu kalau aku cuma sendiri di gelap malam seperti ini, masih juga bertanya. “Kamu sendirian?” Ia mengulang pertanyaannya. Dikiranya aku rada budek kali.
“Iya. Kamu?””Sama.” Habis itu sepi. Aku mulai membuka sleeping bag. Perempuan itu menyalakan kompor gasnya. Bayang-bayangnya terpantul di dinding tendaku.
“Gimana kabarnya Anggek dan Kothe?” Pertanyaan itu menyengat memoriku.
“Anggek mati. Kothe lagi sibuk kuliah.”
“Apa? Anggek mati?” Ia menyingkap pintu tendaku. Tak tanggung-tanggung kuarahkan senter yang sejak tadi kupegang padanya.
“Ya.” Ya juga buat diriku sendiri. Aku sekarang ingat siapa perempuan ini. Ia perempuan yang kutemui ketika naik gunung Merapi dengan almarhum Anggek dan Kothe. Ya. Dia Mbak Wiwik. Perempuan yang pernah kurayu, dan ternyata sudah bersuami. Waduh! Tak terasa pipiku terasa panas.
“Mbel, Anggek benar-benar sudah mati?” Tangannya mengguncang kakiku. “Ya. Dua tahun yang lalu. Kecelakaan.” Ia manggut-manggut. “I’m sorry.” Akulah yang kini di antara ragu dan bimbang. Apa aku harus mengenalnya? Suara air mendidih menembus kesunyian di antara kami. Kuputuskan untuk berbicara padanya.
“Mbak Wik, gimana kabarmu sekarang?”
Ia tersenyum. Diaduknya mie instan. “Kau sudah ingat Mbak Wiwikmu ini to sekarang.” Pipiku kembali panas.
“Aku buat dua. Aku tahu kau kehabisan bekal. Dasar bocah nakal. Tahu kalau sudah tua, masih nekat naik Slamet sendirian. Bekal pas-pasan lagi. Sini makan bareng.” Diambilnya piring plastik yang kedua dari dalam ransel.
Mienya enak sekali. Apalagi pakai telur. Telur! Ini rahasia Mbak Wik yang belum pernah diceritakannya padaku. Cara membawa telur ke gunung tanpa takut pecah.
“Masih kerja di bank?”
“Nggak. Sudah dibekukan. Sekarang di rumah saja. Mumpung bisa istirahat. Paling main saham dikit.” Masih seperti dulu.
Makanlah engkau sebelum dimakan harimau, prinsipku. So aku pun makan seperti anjing kelaparan yang sudah sebulan tak bertemu tikus besar. Sesingkat itu pula jatahku habis, dan perutku masih minta tambah. Kulihat MbakWik memandangku terpana.
“Nih buat kamu sekalian.”
“Bener nih?”
“Ambil gih!”
“Makasih.” Separo mie dari piring kedua kuhabiskan tuntas. Mbak Wik menyalakan lilin lagi. Diletakkannya di depan tendaku.
Keheningan menyelimuti kami. Mbak Wik mengambil piring, memasukkannya dalam kantong plastik dan menyimpan peralatan masak dalam gerak yang nyaris tanpa suara. Aku menatap gerakan itu dalam keharuan yang pekat.
“Selesai sudah,”katanya lirih.
Tiba-tiba matanya menggerus hatiku. Aku tertunduk.
“Kuliahmu udah selesai?”
“Hampir. Tinggal ngulang ujian Penyakit Dalam.”
“Baguslah.”
Kembali diam di antara kami.
“Mbak Wik, kok nggak bareng suami?”tanyaku hati-hati.
“Nggak. aku sudah cerai tiga bulan lalu.” Suaranya biasa saja.
“Maaf.”
“Gak pa pa kok. Dia sebenarnya memang tidak mencintaiku. Begitu juga aku. Ngomong-ngomong, kamu jadi kawin sama pacarmu itu?”Ia ganti bertanya.
“Mungkin.”
“Kok mungkin?” Ia menatapku tajam. Aku jadi grogi.
“Karena hidup ini penuh kemungkinan. Dan aku nggak tahu apa yang akan terjadi besok.”
“Atau kau mau kawin sama aku saja? Aku sekarang janda kembang lho. Itu kalau lamaranmu yang dulu masih berlaku.”Samar-samar kulihat senyumnya mengembang. Tapi pipinya terlihat memerah. Matanya sedikit menunduk.
“Boleh. Aku mau kawin, tapi tidak buat nikah.” Kutanggapi sembarangan saja.
“Wah, enak di kamu, gak enak di aku dong!”Tawanya memecah keheningan.
Tiba-tiba kudengar langkah kaki di kejauhan.
“Mbak Wik nunggu teman?”
“Nggak. Kau?” Aku menggeleng.
Suara kaki itu menjauh. Ternyata ia mengambil jalan di lereng timur. Mungkin ia tahu kalau kami tengah enggan diganggu. tiba-tiba ia memegang tanganku.“Gimana?” Aku diam. Aku nggak tahu harus bilang apa. Ia terlihat ngungun. Pelan dilepaskannya jemari. Aku merasa kehilangan. Sungguh.
Dibukanya pintu tenda dan dikeluarkannya sleeping bag. Tubuhnya yang ramping masuk ke dalamnya. Mata sendunya kembali menatapku. Meski dalam gelap dan 3 tahun berlalu, aura kecantikannya tak luruh waktu. Di mataku, ia masih tetap wanita paling menarik di dunia. Lahir batin.
Ia membalikkan badan, ditutupnya pintu. Gelap dan sunyi di sekeliling. Entah pikiran apa yang melibas otakku. Aku berbisik pelan. “Mungkin aku akan menikahimu besok. Selamat malam Mbak Wikku.” Kucoba merebahkan tubuh dalam sleeping bagku yang hangat. Tapi kini terasa dingin dan sepi.
Apakah ia mendengar apa yang baru saja kukatakan? Jika ya, inikah jalan hidupku? Entah.
ditulis di bawen, 13 April 04
Filed under: cerita pendek, seputar hidupku | Tagged: gunung slamet, mbak wik, menikah |
waah waaaah…ternyata bener2 nyasar ya di FK….. tapi enggak ding, buktinya sekarang kan di kardio… jadi apa ya?? multi talenta? sughoii….
walah2… tapi yakin ini cuma fiksi lho mbak.. 🙂
met malem pak dokter 😀