Ramadhan dan Kuman(Jawa Pos 24/9/07)

oleh M. Yusuf Suseno

Ramadhan seharusnya bisa membersihkan kotoran dan kuman dari hati kumuh kita. Layaknya air wudhu membasuh wajah berdebu. Ia membasahi kerak-kerak nafsu. Menggerus karat cinta kita pada dunia. Tapi bagaimana jika air wudhu itu berasal dari sumur yang tercemar septic tank? Jelas Anda tak jadi bersih, tapi malah melumuri wajah Anda dengan beribu kuman e.coli.

Dinkes Surabaya menemukan angka pencemaran sumur yang cukup tinggi di Surabaya. Dari sembilan sumur, hanya satu yang dianggap layak dengan kandungan kuman kurang dari 50 per 100 milimeter air . “Bahkan, ada yang mencapai 1.600 kuman per 100 milimeter air,” kata kepala Seksi Higiene dan Sanitasi Dinkes (Jawa Pos 20/9/07).

Inilah akibat dari urbanisasi. Surabaya kian padat. Rumah-rumah, termasuk septic tank-nya, tak mengenal sela. Ditambah kebutuhan hidup yang terus menghimpit. Siapa peduli pada kuman e.coli di sumur belakang rumah?

Bagaimana dengan air PDAM? Tidakkah seharusnya wajah bercahaya Anda bebas dari serbuan e.coli? Semoga ya. Tapi data Depkes tahun 2004 menyebutkan hanya 80 persen air PDAM di kota/kabupaten di seluruh Indonesia yang memenuhi syarat kualitas bakteriologi. Sedang untuk air minum non perpipaan hanya 53,67 persen yang memenuhi syarat kesehatan. Hal ini terjadi karena sebagian sumber air PDAM telah mengalami perusakan lingkungan yang dahsyat akibat ulah manusia. Akibatnya, standar baku mutunya menurun, bahkan tidak lagi sesuai untuk bahan baku air minum.

Bagaimana dengan sumber bahan baku PDAM Surabaya? Kali Surabaya ternyata juga tak lepas dari masalah limbah. Sungai ini dimanfaatkan oleh penduduk dan industri sebagai tempat pembuangan air limbah industri dan domestik, dengan limbah organik yang dibuang mencapai 33.477 kg/hari (Surabaya Post 25/7/07).

Hadirnya kuman e.coli di wajah kita tak pernah disadari. Apalagi jika ia datang dalam bentuk es sirup nikmat di tangan anak-anak. Tiba-tiba saja wabah diare datang menumbangkan mereka. Mengirim mereka ke rumah sakit, mengundang Izrail dalam bangsalnya. Barulah kita berpikir keras. Dimana letak kesalahan kita?

Kesadaran yang terlambat ini mirip dengan perasaan saya dan mungkin sebagian pembaca saat Ramadan hampir berakhir. Sudah sepuluh hari lebih Ramadan dilalui, mengapa ia tak sungguh mendinginkan hati? Apakah Ramadan ini, seperti juga air sumur Surabaya, telah kita cemari kotoran dari septic tank dunia? Terlalu sibukkah kita dengan materi, hingga banyak sampah terbuang dekat sumur kehidupan? Termasuk bulan Ramadan, sumur yang belum tentu kita temui lagi?

Seharusnya esensi Ramadan tak bernasib seperti air sumur Surabaya yang tercemar. Karena ia datang dengan kesunyian seorang pengembara, mencari tempat berteduh di hati seorang muslim. Layaknya seorang guru sejati ia mendidik tanpa menghukum. Tiap hadir hanya bertanya, maukah kubasuh hatimu?

Mau. Tentu mau. Dan penuhlah masjid dengan umat yang shalat tarawih, meluber hingga ke jalan. Tapi melubernya kita tak serta merta membawa pencerahan. Bahkan beberapa saudara kita khilaf dan lupa pada sabda Nabi Muhammad s.a.w. “Orang Islam ialah orang yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” Akibatnya sebuah masjid milik LDII di kabupaten Jember tak luput dari perusakan massa. Yang ironisnya dilakukan oleh sesama umat Muhammad. (Metrotvnews.com).

Sebuah perjanjian yang ditulis tahun 15 H oleh Umar bin Khatab untuk kaum Kristen setelah menaklukkan Syam menggambarkan keluasan rahmat Islam. “Bismillah. Inilah perlindungan yang diberikan oleh hamba Allah Umar, Amirul Mukminin. Yaitu perlindungan yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada diri mereka, gereja-gereja, dan salib-salib mereka, baik gereja-gereja yang sakit(melenceng), maupun yang sehat(murni) beserta seluruh sektenya.” (Ar Rasul, Said Hawwa)

Jika bahkan terhadap gerejapun Islam masih memberikan perlindungan, mengapa hal ini tidak berlaku pada masjid saudara seagama, meskipun mereka berbeda?

Lepas dari pro kontra tentang LDII, adalah menyedihkan mengetahui peristiwa ini berlangsung di bulan suci Ramadan. Pesan Islam sebagai agama penuh rahmat menjadi kabur, saat kebenaran dipersempit menjadi milik sebagian orang. Padahal Allah, yang Maha Pemurah dan Penyayang adalah milik seluruh manusia.

Mengapa hal ini terjadi? Mengapa Ramadan kita sering berlalu begitu saja? Mengapa malam-malam tarawih kita seakan lenyap tak berbekas? Mengapa lapar dan dahaga tak serta merta memuliakan kita? Mengapa malam Ramadhan yang mulia malah diisi dengan permusuhan dan kebencian?

Matahari senja Ramadan makin turun di sela padatnya rumah. Makin jingga di antara Kali Surabaya yang menghitam diisi limbah manusia. Tapi kita tak peduli. Karena kuman e.coli tak tampak di mata. Begitu juga dengan Ramadan. Esensinya pun tak serta merta kasat hati.

Untuk melihat e.coli kita membutuhkan mikroskop. Sedang untuk merasakan cahaya Ramadan, kita membutuhkan iman yang sesungguhnya. Khotib Jum’at di masjid RS tempat saya bekerja berkata, salah satu indikasi orang beriman adalah hati yang bergetar tiap mendengar nama Allah disebut. Ah, sungguh ia telah menyindir saya. Mungkin ia tahu kalau saya masih sering melewatkan adzan tanpa menggerakkan kaki menuju masjid. Saya masih memilih meneruskan pekerjaan daripada datang saat Allah memanggil.

Pagi ini saya membuka Alquran dan di sana terbaca, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Sungguh, akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”(Al An’aam 32)

Ah, mungkin saya memang masih kekurangan iman. Atau bahkan tanpa disadari kehilangan ia di tengah kesibukan dunia yang melenakan. Untuk itu saya harus mencarinya. Menemukannya kembali. Sebelum Ramadan pergi meninggalkan saya. Bagaimana dengan Anda?

Terima kasih pada dokter Zainal Safri, SpPD untuk diskusi2nya..

3 Tanggapan

  1. Bener2 seorang pejalan ya? dr Paulo Coelho hingga Said hawwa!
    Hmm…. kalau gitu mesti lihat “Kingdom of Heaven”. Film barat yg menampilkan cuplikan pidato Salahuddin al Ayyubi yg bagus banget. sebagus isi perjanjian Umar bin Khattab diatas…
    Have a Ramadhan Mubarak………

  2. 🙂

  3. Manusia mencari ilmu dengan menghitamkan kertas(membaca/menulis),mencari ridla ilahi dengan memutihkan hati(taubat),mencari ridla manusia dg mendengarkan hati nurani

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: