oleh M. Yusuf Suseno
Judul artikel ini memang tak mirip pertanyaan kuis pengantar sahur. Tapi tak perlu analisa politik panjang untuk menjawabnya. Karena jawabnya jelas. Mungkin saja ia bukan anak Anda. Bahkan siapa tahu calon presiden kita adalah anak negara tetangga yang dijaga betul makanannya oleh Pemerintahnya, dan akibatnya saat dewasa ia pun tumbuh menjadi manusia matang, sehat dan cerdas, siap mencalonkan diri jadi presiden, melebihi anak-anak Indonesia.
Lho, ada apa dengan anak-anak kita? Mengapa mereka tak bisa tumbuh sebaik yang diharapkan? Bukankah kita selalu berusaha memberikan gizi terbaik? Dimana letak kesalahannya?
Tenang. Memang bukan sepenuhnya kesalahan Anda kalau anak yang kita cintai tumbuh menjadi agak ’kurang pintar’, mengalami gangguan konsentrasi, ataupun harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup gara-gara gangguan fungsi organ tubuh dan kanker di masa mendatang. Satu-satunya kesalahan adalah Anda lupa kalau hidup di negara yang penegakan hukumnya berlubang di sana sini, yang orientasi ekonominya kadang mengorbankan masa depan rakyatnya.
Apalagi Anda tinggal di negara yang Pemerintahnya sering kecolongan, dan biasanya hanya bertindak sesuai prinsip ”hangat-hangat tahi ayam”. Akibatnya segala macam zat kimia semacam formalin, boraks, rhodamin pewarna tekstil, semua mengisi perut anak-anak dengan lancar dan tanpa halangan. Tidak percaya?
Anda masih ingat dengan berita tentang produk permen produksi Cina yang ditemukan dalam razia Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Surabaya sebulan lalu? Ribuan permen, termasuk merk yang sering dimakan anak-anak kita karena enak dan murah, ternyata mengandung bahan formalin yang berbahaya. Perlu Anda tahu, salah satu merk permen yang kemudian ditarik itu sudah beredar di Indonesia lebih dari 20 tahun.
Padahal tidak hanya permen. Sejak kecil kita selalu memilih ikan segar, ayam segar, tahu segar, bakso segar, es buah segar nan cerah, segala yang tampak indah. Padahal sangat mungkin di dalamnya terkandung formalin, yang paparan kronisnya menyebabkan gangguan fungsi organ, termasuk otak, dan juga kanker.
Ah, siapa tahu kebiasaan beberapa pejabat kita mengkorupsi uang negara dan keahlian kita mengkorupsi waktu itu juga tercipta akibat tumpukan formalin, boraks, dan rhodamin di otak kita. Nikmat ya? Itu namanya sekali dayung dua pulau terlampaui. Sudah dapat bakso yang kenyal dan tahan lama karena boraks dan formalin, ketularan efek ‘korupsi’ pula.
Sayangnya uang ‘kurang halal’ hasil korupsi waktu kita juga membawa celaka bagi anak-anak. Mereka antri di depan penjual bakso goreng bersaus merah darah, sambil sesekali menyeruput es limun berwarna kuning menyala. Terasa sekali manis dan segarnya. Mungkin si kecil akan menawari Anda. ”Bapak mau mencicipi ‘boraks’ kenyal bersaus ‘pewarna tekstil’ dan ‘pemanis buatan’ segar milik Adik?
Apa jawab Anda? Ternyata ini. ”Terima kasih anakku tercinta. ’Boraks’ itu untukmu, ‘pewarna tekstil’ dan ‘pemanis buatan’ itu bagimu. Bapak sudah bekerja keras, bahkan mencuri waktu di sela-sela pekerjaan resmi Bapak, semata membelikan semua ‘zat kimia perusak tubuh’ itu untukmu.”
Sementara itu gonjang-ganjing kontroversi aspartam, pemanis buatan yang dilarang di sebagian negara sudah berhenti di tanah air. Padahal sebagian jajan favorit anak yang berasa manis mengandung aspartam. Dan Pemerintah kita, sebagai Pemerintah yang harus mendengarkan para pemilik modal dan hampir selalu mengekor badan pengawas obat dan makanan Amerika, FDA, berhenti berpikir tentang penelitian yang membuktikan kalau aspartam menyebabkan kanker pada binatang coba.
Jangan berburuk sangka, kata seorang teman. Apalagi di bulan Ramadhan. Toh kalau nanti memang terbukti pada manusia kan juga ditarik. Persis thalidomide, obat populer puluhan tahun lalu yang saat diluncurkan dinyatakan aman, ternyata kemudian melahirkan puluhan ribu anak cacat di Eropa dan dunia.
Masalahnya adalah, apakah kita akan menunggu hingga ia terbukti pada manusia? Jepang sudah melarang aspartam(Jakarta Post 9/1/07). Sedang kita tidak. Jadi mari kita tunggu hasil studi observasional ini. Apakah akhirnya generasi full aspartam kitalah yang akan berhasil bergerak mengambil alih, atau kita akan terus menjadi anak buah selamanya?
Memang tidak ada yang menyangkal bahwa fakta terkuat adalah hasil uji coba pada manusia. Tapi kita seharusnya ingat, bahwa ada banyak kepentingan yang bisa bermain di balik publikasi hasil penelitian. Terutama kekuatan para pemilik modal.
Tak hanya soal aspartam. Rasanya kekuatan kapitalistik ini juga mempengaruhi banyak pemegang keputusan dalam hal penggunaan monosodium glutamat (MSG). Semua memang masih kontroversi. Tapi faktanya adalah Jepang sendiri sebagai salah satu leluhur MSG hanya menjual MSG 10 % yang dicampur garam 90% untuk masyarakat. MSG 100% hanya dijual pada industri makanan. Lain halnya dengan Indonesia. Hampir tak ada penjual bakso yang tak menyertakan sekantung plastik penuh MSG 100%. Padahal banyak peneliti telah jauh hari mengingatkan tentang adanya pengaruh MSG pada sistem saraf manusia(Kompas 26/11/04).
Sayangnya begitu kuat tekanan iklan pada kehidupan kita sehari-hari, hingga bertahun-tahun kita merasa adalah tidak lengkap masakan istri di rumah jika tak menyertakan salah satu merk penyedap rasa favorit.
Bahkan mungkin hari ini pun ada di antara pembaca yang masih mengucapkan kalimat ini. “Ah, enak betul masakan untuk buka puasa hari ini. Masih memakai ’pengganggu sistem saraf’ warisan nenek kan Bu?”
Hmm, rasanya Pemerintah dan pemilik modal memang harus banyak meminta maaf kepada kita ya di Idul Fitri nanti? Tapi itu saja belum cukup lho. Masih ada produk lain dunia industri yang berpengaruh kuat pada perkembangan anak, terutama mental dan spiritual mereka. Yakni televisi, kotak ajaib penunggu ruang keluarga.
Saya pernah menulis pengaruh acara televisi, yang saya ibaratkan layaknya pisau bagi anak-anak di surat kabar ini. Termasuk adanya gangguan konsentrasi, tingkat kenakalan saat tumbuh menjadi remaja, dan pengaruhnya pada prestasi sekolah. Semua itu berdasar penelitian pada manusia. Sayangnya tetap nikmat rasanya bisa membeli televisi layar datar berukuran besar, dan manusiawi jika kita lupa mematikan dan menyimpan remote. Si kecil pun asyik menonton aksi pahlawan bertopeng, menonton acara kriminalitas, lantas menerjemahkannya dengan bersikap agresif pada temannya.
Menjawab pertanyaan siapa presiden Indonesia 2050 tidaklah mudah. Tapi sejak Ramadhan ini saya mungkin tahu jawabnya. Apalagi terlihat tetangga rumah masih bisa memberikan uang jajan bagi anaknya. Sedang di dapur, istri saya, yang gencar menghemat uang untuk mudik Lebaran, sejak Ramadhan ini rajin membujuk si sulung membawa bekal ke sekolah.
Pun juga saat tetangga lain pergi meninggalkan rumah dengan televisi layar datar berukuran besarnya menyala untuk si kecil. Sebaliknya sudah beberapa hari ini televisi 14 in rumah saya tak bersuara karena rusak. Malah bungsu saya terlihat asyik mencoreti tembok kamar, meski di masa akhir kontrak rumah nanti berarti saya mesti mengecat ulang.
Otak saya, yang mungkin juga sudah agak mirip dengan otak para pemimpin partai dan politikus negeri ini gara-gara mengkonsumsi formalin, boraks, rhodamin, aspartam dan MSG selama lebih dari 32 tahun tersenyum senang. Ah, gugur sudah beberapa calon lawan politik anak saya nanti.
Bagaimana dengan Anda? Anda mau menciptakan salah satu kandidat presiden? Atau pasrah pada Pemerintah yang sering kecolongan dan keputusannya sering dipengaruhi para pemilik modal? Mari jadikan Ramadhan ini sebagai titik balik kehidupan calon presiden 2050 kita..
terima kasih pada dokter Emil Parapat atas ide tulisan ini.. makasih ya Bang…
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, kebijakan dunia kesehatan |
2050? jangankan mikirin presiden, pertanyaan masih idup g aja sulit di jawab….. met puasa..
dok, ajarin tips2 nulis yang baik biar bisa dimuat di koran!!
buat senja : met puasa juga. thx udah mampir..
buat dayu : kamu juga pasti bisa!
Nice..