oleh dr. M. Yusuf Suseno
Suatu hari seorang guru besar emeritus Unair menulis keheranannya terhadap pendapat Kepala DKK Surabaya yang mengatakan bahwa surat izin praktek (SIP) dokter sama dengan surat ijin mengemudi (SIM). Menurut beliau, berbeda dengan para sopir yang bila tak punya SIM hanya ditilang, dokter yang tidak punya SIP malah dipidana, dan persoalannya jauh lebih berat dan panjang daripada sekadar sopir ditilang. (Jawa Pos 11/5/07).
Lebih berat dan panjang? Pasal 76 UU Praktek Kedokteran tahun 2004 memang mengancam para dokter yang tidak memiliki SIP dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun penjara, atau denda paling banyak Rp 100 juta. Wah!
Di akhir tulisannya, sang guru menutup keresahannya dengan satu kalimat penjelasan yang pilu. “Sebab, derajat dokter (dianggap) lebih rendah dari sopir truk sampah…”
Ternyata kisah SIM itu juga bisa ditemukan pada cover story Jawa Pos tentang Traditional Chinese Medicine (TCM). Ulasan tentang TCM itu membuat saya bertanya, apa mereka punya SIM juga? Kalau ya, bagaimana derajat mereka dibandingkan dokter ataupun para sopir truk sampah? Atau hanya dokter yang dianggap berbahaya, sehingga perlu diancam kurungan untuk pelanggaran administratif seperti itu?
Jawabnya tidak. Saya membuka UU Praktek Kedokteran yang tengah di-judicial review itu. Ternyata kalau dokter TCM benar-benar dokter, maka ancaman hukumannya setara dengan dokter lokal. Pasal 75 ayat tiga UU Praktek Kedokteran mengatakan bahwa dokter warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa surat tanda registrasi (STR) diancam pidana penjara 3 tahun penjara, atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Tapi, tentu saja mereka bisa berkelit dari UU ini. Seorang pengelola klinik TCM mengungkapkan bahwa dokter asing tersebut telah diakui negara asalnya. Mereka didatangkan langsung dengan dilengkapi surat keterangan berkemampuan mengobati dari negara asal. Mereka juga mempunyai surat izin pengobat tradisional (Jawa Pos 17/5/07). Terus terang, kalimat tersebut membingungkan saya. Sebenarnya, mereka itu berpraktek sebagai dokter atau pengobat tradisional?
Pertanyaan ini sempat pula dilontarkan oleh ketua IDI Jatim terhadap praktek TCM di Surabaya. Dokter Pranawa, SpPD mengatakan bahwa sebenarnya yang terpenting adalah upaya maksimal untuk melindungi kepentingan masyarakat. Itulah pentingnya kejelasan dari status TCM di Surabaya. Jangan sampai ada pihak yang berpraktek mirip layaknya seorang dokter, tetapi saat dikejar lebih lanjut ternyata tidak.
Entah mana yang benar, tapi Dr dr Koosnadi Saputra mendengar dari beberapa pasiennya kalau para tenaga asing itu mengaku sebagai dokter. Padahal, mereka bukan lulusan fakultas kedokteran (Jawa Pos 17/5/07).
Nah, kalau sinyalemen di atas benar, maka derajat mereka bisa saja turun lebih dalam dibanding dokter lokal, apalagi dibanding dengan para sopir truk sampah. Pasal 77 UU Praktek Kedokteran menyatakan kalau seseorang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter yang telah memiliki STR atau SIP, maka diancam pidana lima tahun penjara atau denda maksimal 150 juta rupiah.
Lepas dari kriminalisasi profesi dokter oleh UU Praktek Kedokteran, fenomena pengobat tradisional dari luar negeri ini memang sudah seharusnya mendapat tanggapan serius. Perlu kajian lebih lanjut, apa TCM sudah bekerja berdasar kewenangan yang dimiliki? Apakah maraknya klinik TCM yang didukung oleh iklan di berbagai media itu sungguh-sungguh bermanfaat? Jawabannya ada di kisah berikut.
Seorang sopir yang kecapekan datang ke tempat praktek seseorang yang berjas putih dan sepintas mirip seorang dokter. Ia diperiksa, dan mendapat ramuan yang entah berisi apa. Pulang ke rumah ia minum ramuan itu, merasa ngantuk lantas tidur. Saat bangun ia mendapati sekujur tubuhnya gatal-gatal, kedua bibir dan kelopak matanya bengkak, mungkin sekali akibat alergi obat. Alih-alih pergi ke tempat si pemberi ramuan, ia malah pergi ke tempat praktek dokter langganan di ujung gang.
Sayangnya, praktek dokter langganannya tutup. Si dokter yang bernasib sial tengah pulang kampung. Pak Sopir yang merasa marah karena sudah jauh-jauh berjalan ke ujung gang berencana menuntut dokter yang menutup prakteknya tanpa pemberitahuan. Ia dianggap melanggar pasal 40 ayat 1 UU RI Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Silakan Anda berpikir. Siapa yang paling diuntungkan dari peristiwa itu?
Masyarakat sebagai konsumen memang berhak memilih kemana mereka akan berobat. Tetapi jika dokter dituntut mengikuti standar pelayanan yang implikasi hukumnya diatur dalam UU, serta kode etik yang harus dipatuhi, bagaimana dengan mereka?
Jangan sampai masyarakat menjadi korban karena ketidaktahuan ataupun aturan yang tidak jelas. Dinas kesehatan seharusnya diberikan kewenangan yang lebih besar untuk pemberian izin, pembinaan, serta pengawasan pelayanan kesehatan sejenis TCM.
Selain itu, setidaknya pemberi jasa juga harus berkata jujur tentang kemampuan dan wewenang mereka. Apakah kita bekerja sebagai sebagai dokter umum, dokter spesialis, perawat, fisioterapis, bidan, atau seorang pengobat tradisional?
Mari kita belajar jujur. Setidaknya pada diri sendiri.
M. YUSUF SUSENO
Dokter umum, tinggal di Surabaya.
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, kebijakan dunia kesehatan, pro kontra tentang 'dokter" |
sangat disayangkan seorang dokter sebagai pimpinan suatu organisasi profesi kedokteran menyamakan sip=sim, hal ini sangat berbeda sekali, sim bisa didapat oleh semua orang yang bisa mengendarai motor, mobil, maupun truck, tapi sip tidak bisa karena untuk mendapatkannya seseorang harus melalui pendikdikan yang harus dijalalani selama bertahun2, sangat tidak bijaksana kalo sip disamakan dengan sim apalagi yang mengucapkan seorang yang berpendidikan….
tidak perlu diberikan contoh tentang kasus mal praktek yg dilakukan dokter tradisional tsb,sebab bnyak kok dokter umum yang psien justru tak tambah parah ketika berobat pada doketer umum yangmeski punya sip,jadi gak perlu ditampilkan seperti itu itu.karna banyak juga kok pasien yang sembuh ketika berobat di dokter tcm,buktinya orang tua saya sendiri.awalnya berobat didokter spesialis penyakit dalam disebuah rumah sakit,yakni,eh ternyata malah kambuh,dan bilak balik harus datang.langsung kala itu ortu sya bawa ke klinik tcm.alhamdulillah skrng sembuh.jadi saran saya semua ada yagnbenar dan ada yang salah gak perlu sombong dg kemampuan kita,sebab penyakit itu pada hakekatnay Allah yg menyembuhka,tergantung kita pake cara apaun asal yakin dan sesuai dg syariat ya no problem,
@Pak Heru : Maaf bila artikel ini menyinggung Bapak. Alhamdulillah orang tua Bapak sudah sehat. Semoga sehat terus…
Setau saya cina ada tiga progam kedokteran untuk dokter yakni barat, timur(cina) serta perpaduan antara kedokteran barat dan timur(cina)… nah TCM itu masuk yang murni kedokteran timur mereka di sana para dokter telah melalui tes2 ujian untuk menjadi seorang dokter seperti halnya juga di indonesia, dan memiliki rumah sakit TCM juga berserta prasarananya ex UGD, laboratorium, foto X-ray bahkan CT-scan, ruang oprasi (mereka juga ada mata pelajaran bedah ilmu barat dan timurnya juga) dls. Di sana mereka saling berkerja sama untuk menyembuhkan pasien antara kedokteran barat dan timur saya suka itu di padu antar ilmu kedokteran barat dan timur secara kompak, dan para dokter serempak baik barat dan timur saling kerja sama. Maaf ya pak…. Apa pasien tau juga isi obat yang diresepkan oleh dokter???? PERLU DI GARIS BAWAHI,kan pasien tidak bisa baca tulisan dokter, dokter TCM juga ada kertas resep obatnya seperti halnya dokter barat. Pasien di beri obat A ya pasti diminum. Dokter apapun, dengan gelar dan titel apapun dan pegobatan semacam apapun yang penting bisa mengobati pasien secara halal, syariat dan sesuai prosedur. Bahkan pegobtan tradisional pun sekarang populer idola masyarakat karena bersifat radisional.. Nah maka dari itu perpaduan lebih bagus misalkan yg obat tradisional tidak bisa mengobati ya berarti pakai yang barat ataupun perpaduan dan sebaliknya itu saya rasa lebih baik.. Dan TCM sekarang telah di percaya di berbagai negara berserta kerjasama dgn para dokter barat. maaf sebelumnya jika kata-kata saya menyinggung bapak. ya namanya komentar maaf jika ada salah kata-kata.
Dari: masyarakat biasa…………..yang mencari tau krn keingin tahuan.