Pasien vs Dokter (Jawa Pos 11/5/07-terima kasih pada guruku, dr Jatno..)

oleh dr M. Yusuf Suseno

Apa yang dirasakan oleh seorang pasien saat mengalami efek samping obat dari seorang dokter? Bingung? Marah? Kecewa? Sedih? Hilang rasa percaya? Merasa sendiri?

Lantas, apa yang akan dilakukannya? Meminta penjelasan? Menuntut secara hukum? Ternyata setelah berbagai rasa yang campur aduk disertai ekstra opname di rumah sakit, mengambil langkah hukum adalah pilihan Ibu Lucy dan keluarga.

Sayangnya, mungkin karena merasa sudah tak ada titik temu, dokter Fatimah dan tim RS Pelabuhan Surabaya pun tak tinggal diam. Mereka balik akan menuntut Lucy atas tuduhan pencemaran nama baik.(Jawa Pos 25/4/07)
Semua peristiwa itu memang mencerminkan hubungan pasien-dokter yang unik, rumit, dan complicated. Ia tak bisa disamakan dengan hubungan antara Tukul Arwana sebagai pemilik laptop dan programmernya, dimana ada garansi dan bila perlu install ulang dengan program baru, serta jaminan service gratis selama jangka waktu tertentu. Meskipun pasien juga memberikan uang jasa, persis seperti yang dilakukan Tukul.

Karena tubuh manusia jauh lebih kompleks dari laptop. Masing-masing tubuh manusia unik, tak terduga, dan khas. Komplit dengan emosi yang bisa membikin baterai tubuhnya terbakar. Dan keduanya memang bisa rusak. Tapi berbeda dengan hardware dan software laptop yang bisa diganti ataupun di upgrade, tubuh manusia tidak.

Begitu pula dengan obat yang digunakan. Antivirus yang diberikan oleh seorang programmer untuk sebuah laptop bisa kita perkirakan kerjanya, dan ada pilihan yang diberikan olehnya saat menemukan sebuah file yang dideteksi mengandung virus. Leave? Clean? Delete files?

Sedang obat yang diberikan dokter tidak. Ada daftar efek samping yang mungkin bisa terjadi. Kadang puluhan malah. Dan saat obat itu diminum oleh seorang pasien, dokter dan pasien harus menunggu dengan sabar reaksi obat tersebut. Tuhanlah yang menentukan, apa yang akan terjadi pada tubuh unik si pasien. Hasilnya bisa membuat dokter tersenyum lega, pasien sangat berterima kasih, dan dulu saat saya masih tinggal di desa, keesokan hari kadang ada setandan pisang dan beberapa ikat rambutan di depan rumah dinas.

Sayangnya harapan tak selalu terwujud. Bahkan dengan langkah paling hati-hati sekalipun bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya.. Dan pada jenis obat risperdal yang diresepkan untuk gejala kejiwaan Lucy, maka kemungkinan efek sampingnya antara lain sebagai berikut. Berdebar-debar, pusing, sulit tidur, nyeri kepala, cemas, gangguan tidur, peningkatan aktifitas mimpi, gelisah, menurunnya minat seksual, parkinsonism, gejala ekstra piramidal, dll (A-Z Drugs Fact).

Lho kok banyak? Memang demikian faktanya. Saya sempat berbincang dengan guru saya tentang kasus ini, seorang ahli penyakit dalam dan jantung dari Unair yang bijak dan sederhana. ”Suf, setiap obat punya efek samping. Bahkan vitamin B komplek sekalipun. Karena itu satu-satunya cara menghindari kesalah pahaman adalah dengan berbicara, menjelaskan setiap resiko yang ada. Mulai dari resiko yang kecil, hingga resiko fatal yang bisa menyebabkan kematian. Itulah sebabnya dokter di luar negeri dibayar mahal. Bukan semata untuk keahliannya, tetapi untuk berkata-kata.”

Padahal terkait dengan resiko, Anda perlu tahu bahwa tak melulu obat resep dokter yang beresiko. Anda mungkin sering melihat iklan obat penurun panas yang bisa dikunyah seperti permen rasa jeruk, khusus untuk anak-anak. Obat ini berisi aspirin, dan ia dijual bebas di toko dekat rumah. Efek samping obat itu antara lain pusing, mual, muntah, nyeri ulu hati, perdarahan perut, anemia, penurunan kadar besi, dan reaksi alergi. Reaksi alergi pada kulit bisa berupa bentol-bentol, kemerahan, dan bengkak. Meskipun jarang, aspirin juga bisa menyebabkan kematian akibat syok anafilatik.
Lantas, apa bedanya antara seorang dokter yang meresepkan risperdal dan seorang ibu yang memberikan aspirin bagi pasien dan anaknya? Keduanya sama-sama berniat baik, ingin pasien dan anaknya sembuh, serta tak ada satu pun di antara mereka yang bisa meramalkan bahwa sebuah obat benar-benar bebas efek samping. Bedanya adalah seorang dokter mendapat uang dari jasanya, dan ia bisa dituntut oleh pengacara. Sesuatu yang mungkin tak terpikirkan 20 tahun yang lalu.

Tapi dunia memang terus bergerak, termasuk dunia kedokteran. Dulu hubungan dokter-pasien lebih bersifat paternalistik atau kebapakan, dimana dokter berkewajiban dan dipercaya untuk memberikan terapi dan tindakan terbaik bagi pasien. Dokter berperan sebagai penyelamat, dan pada banyak kasus, dokter menjadi penentu keputusan terapi dan tindakan bagi pasien. Tapi jika terjadi efek samping yang tak dipahami oleh pasien dan keluarga, maka hubungan dokter pasien ini pun bisa memburuk dengan cepat, sesuatu yang sangat tidak diharapkan.

Sedangkan saat ini, sesuai dengan perkembangan era globalisasi informasi dan ekonomi yang lebih kapitalistik, hubungan dokter pasien dituntut untuk berubah. Hubungan kebapakan dianggap terlalu beresiko bagi dokter maupun pasien. Hubungan dokter pasien didorong untuk berubah menjadi hubungan yang lebih informatif dan setara. Suatu transaksi terapetik antara pemberi jasa dan konsumen yang lebih terbuka, meski akibatnya terkadang terasa hambar, terlalu berbau ekonomi dan kurang manusiawi.

Pada transaksi pemberi jasa dan konsumen ini, segala informasi, termasuk jenis pilihan obat dan tindakan operasi serta resiko-resikonya diberikan kepada pasien. Dan yang terpenting, akhirnya bukan lagi dokter yang menentukan terapi terbaik, tetapi pasienlah yang menentukan terapi terbaik bagi diri mereka sendiri. Dokter bukan lagi penyelamat, tetapi pasienlah yang menyembuhkan dirinya sendiri dengan perantaraan dokter. Begitu pula sebaliknya. Dokter bukanlah pemberi efek samping, tapi pasienlah yang memang bernasib kurang beruntung karena mendapatkan efek samping dari pengobatan atau tindakan yang mereka pilih.

Semua pilihan tentu saja memiliki efek positif negatif. Termasuk antara jenis hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik maupun informatif-setara. Tapi dari segi hukum, jenis hubungan yang kedua memang lebih aman. Ia tak lagi semata berdasar pada kepercayaan, yang kadang merapuh saat sesuatu yang tak diharapkan terjadi.

Berkaca pada kasus Ibu Lucy dan dr Fatimah, kita semua berharap ada satu titik terang yang mempertemukan mereka. Karena sungguh, tak ada yang menang dalam kasus ini. Semua kalah. Semua dirugikan. Lucy dengan efek samping yang harus ditanggungnya. Dokter Fatimah dan RS Pelabuhan Surabaya dengan kasus yang berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan kepada dokter dan institusi.

Kita seharusnya belajar bahwa hampir tak ada dokter yang bermaksud buruk. Seperti juga seorang ibu yang memberikan aspirin pada anaknya. Tapi para dokter pun saat ini harus sadar, bahwa kalimat ”kami telah melakukan yang terbaik yang kami bisa” tak lagi terlalu menyentuh hati dan dipercaya. Mungkin kalimat ini harus diganti menjadi, ”kami sudah memberikan terapi terbaik, sesuai yang pasien dan keluarga pilih”. Ah, dunia memang sudah berubah. Entah menjadi lebih baik atau tidak, tergantung cara kita memandangnya.

4 Tanggapan

  1. Reaksi pasien biasanya adalah “dokter salah memberikan obat”. Padahal dokter tidak pernah bermaksud memberikan obat yang salah…

    persepsi yang salah berasal dari komunikasi yang terlalu searah dan miskin informasi. benar demikian mbak?

  2. testing

  3. kasusnya dapat disederhanakan seperti pembeli/mau bayar/makan/dibuatkan nasi, tetapi oleh
    tukang nasi malah jadinya bubur dan gosong lagi !?
    Lalu yang terjadi : tukang nasinya ngotot tak merasa bersalah malah minta dibayar apalagi tak mau kalau disuruh buat ulang lagi. Memang repot sih bila nasi sdh jadi bubur. Nah bgm way-outnya ?Yg jelas bila Tukang nasinya sudah pengalaman yg hrs diperbaiki adalak sikapnya (misalnya a.l. jangan berlagak repot, berlagak seperti dewa sok pinter/tak dapat ditanya, sok nge-gampangkan mentang2 sudah laris/terkenal, dll) ya supaya tak komunikasi searah itu istilah kerennya.Kedua agar tak miskin informasi, maka harus kedua pihak harus menyiapkan diri dengan second-opinion yg mudah didapat(apalagi yg gratis bermutu) seperti di- MILIS2. Coba saja lht, ada berapa Milis yg diasuh oleh dokter2 profesional dan berapa juta penduduk Indonesia ?Dengan second-opinion ini dapat dibangun fungsi kontrol atas kemungkinan terjadinya malpraktek diatas bukan ? (jadi bangunlah suatu informasi keterbukaan yg kerennya disebut Transparansi). Ketiga Lembaga2 Pengawas harus mau aktip,rajin2 ngurus urusan yang beginian dengan biaya seminimum mungkin dan menentukan sanksi yang sudah ditentukan dgn aturan yang sudah ada (tak semaunya membuat /melaksanakan aturannya sendiri).Contohnya kedepannya sih tak perlu repot2 , lihat saja misalnya di Amerika & di Eropa ; selain malpraktek disana sudah terkendali ,yang penting ada keseimbangan yang adil/serasi/harmonis antara hak/kewajiban dokter & pasien yang diawasi oleh yg berwewenang.Jadi dalam ibarat diatas “debat kusir”nya dihindari bila karena “nasibnya” nasi sudah jadi bubur, bukan ?

  4. sayangnya, hubungan dokter dan pasien jauh lebih komplek daripada penjual nasi dan pembelinya..
    tubuh manusia bukan beras lho mas ..:)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: