oleh M. Yusuf Suseno
Membaca kolom jati diri di lembar Opini Jawa Pos tentang mark up klaim Askeskin memaksa saya berkaca pada diri sendiri. “Ini sungguh-sungguh perbuatan yang tidak manusiawi. Ini perbuatan yang perlu bersama-sama harus dikutuk sekeras-kerasnya.”(Jawa Pos 7/8/07)
Pertanyaan pertama yang segera timbul di benak adalah, apakah saya termasuk yang dikutuk oleh redaktur tersebut dan pembacanya, dan karenanya harus segera meruwat diri agar tak terkena imbas kalimat sugestif itu?
Saya melirik sepasang bolpoin yang tergeletak di meja, ia bertuliskan salah satu jenis obat yang pernah saya resepkan. Salah satu obat berharga mahal yang dulu sempat disediakan Askeskin, dan kini tidak lagi karena dianggap tak efisien. Meski mungkin tak termasuk mark up, apakah saya bisa dianggap mencari keuntungan pribadi dari dana untuk kaum dhuafa ini? Perlukah bolpoin itu saya buang untuk menghindari kutukan Askeskin?
Suara lain dalam hati berkilah, bukankah saya bekerja berdasarkan guideline yang ada dari organisasi profesi nasional dan internasional serta masih dalam koridor prosedur tetap rumah sakit? Tapi secepat itu pula ia menukas ketus, siapa pula yang menciptakan guideline? Tidakkah penelitian-penelitian di Amerika dan Eropa yang mendasari terciptanya guideline dan kemudian disetujui oleh para pakar dunia kedokteran itu sebagian juga disponsori oleh sebuah industri? Siapa yang akhirnya diuntungkan oleh perkembangan ilmu kedokteran terbaru yang terus menciptakan obat terbaik tapi tak terjangkau masyarakat miskin?
Jawaban pertanyaan ini hampir terlupakan, ditambah adanya beberapa pejabat yang berkata pada media kalau pelayanan pasien Askeskin tak akan dibeda-bedakan dengan pasien mampu. Mungkinkah ini penyebab beberapa dokter meresepkan obat terbaik yang mereka tahu, meski akhirnya berakibat berlipatnya anggaran?
Otak saya belum sempat mencerna saat tiba-tiba media massa sudah dibanjiri berita tentang tuduhan Menkes terhadap kemungkinan adanya penyelewengan dana Askeskin yang melibatkan oknum BUMN Pemerintah yang bergerak di bidang industri farmasi dan apotek. Bahkan, berita terbaru mengatakan tentang kemungkinan adanya oknum dokter yang bermain.
Salah satunya adalah contoh kasus di RSUD Bau Bau Sulawesi Tenggara, dimana klaim Askeskin tahun ini meningkat lebih dari 600 persen dibanding tahun lalu. Malangnya, ternyata resep-resep tersebut ditulis oleh seorang dokter spesialis dan disetujui oleh komite medis di RSUD Bau Bau. (Jawa Pos 9/8/07). Tak puas menempuh jalur hukum, Depkes pun secara resmi melaporkan kasus tersebut ke Badan Pemeriksa Keuangan dan rencananya juga ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) hari-hari ini. (Jawa Pos 12/8/07)
Hal ini makin membuat hati saya tertusuk. Adakah yang salah dalam sistem pendidikan dokter kita? Mengapa tidak sejak dulu-dulu kita berusaha sekuat tenaga melindungi para lulusan fakultas kedokteran dari area abu-abu persentuhan dengan dunia industri, sehingga dalam kondisi seperti ini tak banyak orang menaruh prasangka? Karena meski sesuai dosis pun, pemberian obat gammaras 22 botol sehari memang sangat tidak murah! (Jawa Pos, 9/8/07) .
Orang Jawa bilang, ngono yo ngono, tapi ojo ngono. Usaha untuk selalu meletakkan pilihan hati yang tepat dalam pertentangan antara ’kebenaran’ dan ’pembenaran’ tak akan henti-hentinya berlangsung dalam hidup seorang manusia. Termasuk dokter, paramedis, direksi rumah sakit, penyelenggara asuransi, dan pelaku industri farmasi.
Tarik menarik antara kepentingan pribadi dan kepentingan pasien, dalam hal dana Askeskin berarti kepentingan negara, akan terus menyertai. Sayangnya memang akan sangat sulit untuk menjadi yang sungguh-sungguh putih. Sebagian besar dari kita hidup dan bernapas di area abu-abu.
Puaskah kita? Sesungguhnya kadang saya tak tega membiarkan hati kecil saya meringkuk lama di sudut lemari. Tapi saya juga menyadari bahwa tanpa bantuan dunia industri, tak akan ada pendidikan kedokteran berkelanjutan, tak akan ada perjalanan ke luar kota, ke luar pulau, apalagi ke luar negeri untuk mengikuti seminar.
Mengapa? Dalam kasus dokter umum, hal ini terjadi karena gaji sebagian dokter umum terlalu sedikit untuk bepergian mencari ilmu. Beberapa klinik di Surabaya, kota metropolitan kedua di Indonesia, bahkan hanya memberi uang transport Rp 30 ribu dan Rp 2.000 per pasiennya untuk bekerja selama 8 jam. Honor yang sangat kecil jika dibandingkan dengan risiko pekerjaan mereka. Lantas, mengapa kita harus mematok diri untuk jadi “sangat putih” kalau akhirnya sistem tak memberi kita hidup yang layak?
Pertanyaan ini sangat kontras dengan kepercayaan besar yang diberikan oleh Depkes pada organisasi profesi spesialis di beberapa rumah sakit Pemerintah di Jawa Timur. Mereka diminta menyusun kembali daftar obat essensial untuk pasien Askeskin. Seorang dokter spesialis mengatakan bahwa Menkes menolak daftar obat esensial sebelumnya karena takut akan munculnya “kerja sama” antara RS dengan perusahaan farmasi tertentu.(Jawa Pos 5/8/2007). Kesimpulan saya atas peristiwa ini adalah, RS tidak dipercaya sedangkan organisasi profesi cukup dipercaya.
Tentu saja jalan pikiran pejabat Depkes ini cukup bisa dimengerti. Beliau-beliau yang berada di lingkup ilmiah dan tiap hari selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru pastilah cukup berkompeten melakukannya. Dan dengan tingkat kesejahteraan yang cukup mapan, tidaklah salah kalau para ahli ini dianggap lebih “putih” dan mumpuni daripada kebanyakan manusia. Karena itu, seharusnya memang mereka lebih tahan dan tak akan terpengaruh terhadap godaan kecil seperti bolpoin, tas, makan siang gratis, tiket perjalanan ke luar kota, dan segala pernik-pernik bujukan dunia industri.
Tapi saya jadi ingat dengan pasien-pasien yang menggunakan fasilitas Askeskin, padahal mereka tidak masuk kriteria miskin. Mereka yang juga menjadi salah satu faktor pembengkakan anggaran Askeskin ini datang diantar kendaraan pribadi, dan keluarganya memakai handphone di ruang rawat intensif. Proses memiskinkan diri sendiri ini memang selalu tampak mudah dan menggiurkan. Karena itu, kita harus selalu sadar bahwa potensi memiskinkan diri ini tidak hanya ada pada rakyat biasa. Ia melekat pada tiap manusia. Bukankah para koruptor besar Indonesia biasanya juga sudah memiliki rumah besar dan mobil mewah sebelumnya?
Askeskin seharusnya menjadi rahmat bagi bangsa Indonesia. Bagi rakyat miskin, Askeskin adalah salah satu cara mempertahankan hidup dari ajal, sedang bagi para dokter, paramedis, penyelenggara pelayanan kesehatan, pihak asuransi dan industri farmasi, Askeskin adalah salah satu cara untuk memperindah hidup.
Sayangnya hidup yang indah itu tak akan bisa terwujud tanpa perencanaan yang baik. Agar program ini bisa berjalan lancar kembali dan Pemerintah tidak kewalahan dengan pembengkakan yang luar biasa dari dana Askeskin, verifikasi para pengguna Askeskin haruslah dilakukan dengan ketat. Pemerintah juga harus memutuskan, sampai kualitas manakah pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin ini. Apakah pelayanan secukupnya, pelayanan optimal setara peserta Askes pegawai negeri sipil, atau layanan maksimal bahkan hampir tak terbatas seperti beberapa bulan yang lalu?
Para politikus juga sebaiknya tidak mengatakan kalau pelayanan dan obat para peserta Askeskin tidak dibedakan dengan orang kaya. Secara akal sehat, memang sudah seharusnya beda. Bahkan pelayanan kesehatan dan obat peserta asuransi kesehatan swasta dengan premi tinggi sekalipun tetap memiliki keterbatasan. Informasi seperti inilah yang membuat para petugas lapangan kelabakan menghadapi protes rakyat kecil yang terlanjur berharap banyak.
Meski saat ini program Askeskin disinyalir berlangsung tak efisien, tak seharusnya program mulia yang bisa menyelamatkan dan memperindah hidup ini berhenti di tengah jalan karena kesalahan segelintir orang. Terlalu banyak jiwa yang bisa terselamatkan oleh program ini. Terlalu banyak kematian jika program Askeskin dihentikan.
Tarik menarik antara “kebenaran” dan “pembenaran” tak akan pernah selesai. Terutama karena kita masih selalu, dan akan terus jadi manusia. Jika Nabi Adam pun tak lepas dari godaan setan di surga, apalah kita yang hidup di tengah carut marut udara Indonesia dan diberi contoh buruk pula oleh sebagian pemimpinnya?
Seharusnya Askeskin tidak menghasilkan gundah, tidak melahirkan kutukan. Mari kita panggil hati kecil kita dari sudut lemari, mengajaknya bermain kembali. Selamat menemukan hati kecil Anda. Selamat berbahagia!
M. Yusuf Suseno
Dokter umum, tinggal di Surabaya
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, askeskin |
Aslmkm pak dokter yusuf
ketika sedang pusing2nya saya karena sakit istri saya yang butuh biaya yang tidak sedikit.
ketika terbersit oleh saya untuk “bermain” dengan askeskin,
anda memberikan pencerahan dengan tulisan anda tentang askeskin ini.
saya berlindung pada Alloh dari bahaya “bermain” dengan askeskin.
terima kasih banyak dok.
wslmkm wr wb
Wa’alaikum Mas Johan.
Saya berdoa semoga istri Mas lekas sembuh. Dan semoga kita semua diberi kekuatan. Amin.