Flu Burung, Tirulah Resep Thailand(Jawa Pos, 20 Jan 2007)

dr. M. Yusuf Suseno

SUATU sore seorang Ibu dengan wajah gelisah bertanya kepada saya. “Dok, suami saya saat ini bekerja di Jakarta. Padahal Jakarta sedang diserang flu burung. Apa sebaiknya saya meminta dia pindah ke Surabaya? Bukankah Surabaya aman (dari flu burung, Red.)?”

Saya terdiam. Saya bertanya-tanya dalam hati, benarkah Surabaya aman? Siapa yang berani menjamin?

Tak ada yang bisa menjamin keselamatan Anda dari serangan flu burung di kota ini. Saya teringat seorang tetangga baik yang memelihara ayam di sudut gang kami yang sempit. Kotorannya menyebar hingga depan rumah. Sekelompok anak kecil bermain tanah di dekat kandang. Siapa yang akan memastikan kalau mereka mencuci tangan dengan bersih saat pulang nanti? Haruskah kematian datang menjemput lebih dulu dan peti mati dipaku rapat, baru kesadaran tertatih menyusul di belakang bersama barisan pelayat?

Dokter Laksmi Wulandari SpP(K), seorang ahli paru yang mendalami flu burung, pernah mengatakan bahwa serangan flu burung pada manusia bisa terjadi kapan saja di Surabaya. Selama masih ada kemungkinan datangnya unggas terinfeksi di Surabaya, baik melalui burung liar maupun ternak unggas, maka masih terbuka kemungkinan terjadi wabah flu burung.

Itu terbukti, pada awal tahun ini sudah ada tiga kelurahan yang terdeteksi memiliki unggas yang terinfeksi flu burung. (Jawa Pos 18/1/07). Provinsi lain seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sudah menyatakan perang melawan flu burung. Melalui Menko Kesra, pemerintah melarang masyarakat di ketiga provinsi itu memelihara unggas nonkomersial. Ayam kampung, ayam bekisar, ayam kate, burung dara, burung puyuh, bebek, angsa, dan jenis unggas lainnya tidak boleh dilepas di tengah permukiman penduduk.

Padahal sejarah selalu berulang. Catatan pertama wabah serangan virus flu terjadi akibat serangan flu Spanyol. Virus itu menelan korban 40 hingga 50 juta nyawa manusia pada 1918-1919. Ia menyebar dari Eropa, India, Iran, hingga Amerika.

Serangan berikutnya terjadi pada 1957-1958, atau yang dikenal dengan flu Asia. Wabah influenza di Asia ini disebabkan virus H2N2 dan menelan korban hingga satu juta orang. Dan terakhir, pada 1968-1969 terjadi wabah di Hongkong akibat virus H3N2 (flu Hongkong), dan menelan total 700 ribu nyawa di muka bumi.

Seharusnya kita belajar dari sejarah. Rasa-rasanya memang akan terjadi wabah flu yang mencabut nyawa banyak orang suatu hari nanti. Ia bisa dimulai hari ini, esok, atau lusa. Dan dengan tingkat kematian yang mencapai 77 persen di Indonesia (dari 79 yang positif, 61 di antaranya meninggal), sepertinya ancaman kematian senantiasa mengintai. Korban di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia.

Pertanyan berikutnya yang mungkin muncul, akankah wabah itu dimulai dari Indonesia dan disebut flu Indonesia? Atau, dari Jakarta dan disebut flu Jakarta? Atau, dari Surabaya dan disebut flu Surabaya?

Rasanya kita perlu belajar pada Thailand yang terbukti cukup berhasil dalam mencegah perluasan virus ini. Sebagai gambaran, saat virus flu burung ditemukan pertama kali pada 23 Januari 2004 di provinsi Suphanburi, sekitar 2.000 orang termasuk militer diperintahkan untuk melakukan pemusnahan unggas di area yang dianggap infeksius.

Dalam 24 jam, sekitar empat juta unggas dimusnahkan, termasuk unggas di industri peternakan. Setelah itu, mereka melakukan vaksinasi secara konsisten. Ternyata hasilnya cukup baik. Selama lebih dari setahun tidak muncul kasus flu burung di Thailand meskipun akhirnya muncul kembali pada Juli 2006. Konsistensi pelaksanaan vaksinasi itulah yang harus dijaga. Bukan asal memusnahkan unggas.

Lepas dari pro-kontra di kalangan para ahli tentang tindakan pemusnahan massal unggas yang dipilih oleh Jepang, Korea Selatan, dan Thailand, ada satu hal yang patut dipelajari. Yakni sikap tegas pemerintah mereka dan kesediaan masyarakatnya untuk mematuhi pilihan terapi yang diambil. Dengan pertimbangan dna dan kekhawatiran munculnya problem sosial, pilihan terapi ini tidak diambil oleh pemerintah Indonesia.

Pemerintah memilih untuk mengikuti jejak Vietnam dan Tiongkok yang melakukan vaksinasi terhadap unggas sehat serta pembasmian unggas yang sakit. Persis seperti yang dilakukan oleh Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan (DPKPPK) Surabaya saat ini (Jawa Pos 19/1/07).

Namun kebijakan tersebut juga harus dipertimbangkan karena ada risiko percepatan mutasi genetik virus. Selain itu, masalah utama pemberian vaksin di Indonesia adalah tidak terkandangkannya sebagian besar unggas di permukiman.

Pemerintah memerintahkan masyarakat agar menjauhkan unggas dari permukiman. Meski tidak mudah, langkah ini harus terus diupayakan. Berbeda dengan industri peternakan unggas yang tingkat biosecurity-nya lebih memadai, unggas nonkomersial di sekitar permukiman merupakan mata rantai terlemah, alias sumber utama dari penyebaran virus ini.

Untuk itu, meskipun kota Surabaya belum termasuk daerah yang dilarang oleh pemerintah pusat untuk memelihara unggas di kawasan permukiman, tidak salah apabila kita bersiap-siap lebih dini. Pemerintah Kota Surabaya sebaiknya mendorong pola berpikir dan menciptakan suasana agar masyarakat metropolis menyadari bahwa pada saat ini kegiatan memelihara ternak di tengah permukiman bersifat sangat makruh. Sebut saja hampir mendekati hukum haram. Jauh lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Sikap ini penting agar jika suatu saat keadaan bertambah genting, masyarakat metropolis lebih siap mental untuk melepaskan diri dari unggas peliharaan mereka.

Sikap Kepala Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan (DPKPPK) Surabaya yang akhirnya merekomendasikan kepada Wali Kota untuk melarang unggas di pemukiman harus terus didukung (Kompas 19/1/07). Ini bertujuan agar Surabaya tidak bernasib seperti Jakarta.

Sampai hari ini, saya masih belum bisa membayangkan, jawaban apa yang akan saya berikan pada Ibu tersebut jika ia bertanya kembali. Mungkin beliau akan puas dengan jawaban klise yang saya tawarkan persis seperti iklan layanan sosial yang ada di televisi. Bahwa selama tidak berhubungan dengan unggas, selama selalu mencuci tangan dan memasak dengan matang daging unggas, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi, ketika muncul lagi pertanyaan akankah Surabaya aman dari ancaman flu burung? Sungguh saya tak berkutik.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: