oleh dr. M. Yusuf Suseno
Berita tentang penahanan kembali seorang dokter akibat praktik aborsi ilegal di Surabaya membuat saya teringat kejadian beberapa tahun lalu. Malam itu, seorang perempuan berusia tiga puluhan tahun yang terlambat haid dua bulan datang ke ruang gawat darurat Puskesmas tempat saya bertugas sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT). Kondisinya begitu lemah dan pucat, kain kebayanya basah menghitam karena rembesan darah.
Jarak rumah sakit dari puskesmas tersebut sekitar 1 jam perjalanan memakai ambulans. Tapi. keluarga pasien menolak untuk dirujuk. Tekanan darahnya mulai turun, nadinya cepat dan tangannya dingin. Di sela-sela tetesan infus yang mengalir cepat, bisik-bisik para pengantar di belakang kepala mengatakan kalau ia adalah “sisa” seorang dukun penggugur kandungan dari sebuah desa di lereng gunung.
Esoknya, seorang bidan lain berbisik lagi di belakang kepala saya. Katanya, suami perempuan beranak 3 itu pernah datang ke rumahnya untuk menggugurkan bakal janin dalam rahim istrinya. Bidan itu takut pada pasal-pasal KUHP, takut ditangkap polisi dan dikurung lima tahun penjara, serta takut dianggap sekuler dari golongan kaum tak bertakwa. Ia pun menolak. Akhirnya, perempuan itu pun mencari dukun dari desa di lereng gunung.
Perempuan malang itu tak sendiri. WHO melaporkan, ada sekitar 750 ribu hingga 1,5 juta kasus aborsi per tahun di Indonesia. Penelitian lain mematok angka 2,3 juta kasus aborsi atau sekitar 43 kasus/100 kelahiran hidup per tahun.
Prof Dr Gulardi SpOG mengatakan, angka kematian ibu (AKI) yang berkisar 334 per 100.000 kelahiran hidup itu disusun oleh sekitar 11-13 persen kasus aborsi. Sebagian besar adalah aborsi yang tidak aman. Beberapa sumber lain malah menyatakan kalau aborsi menyumbang 50 persen dari angka kematian ibu.
Lantas, siapa saja yang melakukan aborsi? Ternyata, sebagian besar bukanlah PSK ataupun remaja tanggung yang hamil di luar nikah. Sebuah penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa 60 persen pelaku aborsi adalah ibu rumah tangga. Ini sesuai dengan penelitian Indraswari dari Unpad yang menemukan bahwa 85 persen pelaku aborsi telah menikah. Penelitian yang diselenggarakan oleh Population Council pada tahun 1996-1997 di klinik swasta dan klinik pemerintah bahkan menunjukkan bahwa 98,8 persen klien aborsi merupakan perempuan menikah dan telah punya 1-2 orang anak.
Ninuk Widyantoro mengatakan bahwa 58 persen aborsi terjadi karena alasan psikososial, 36 persen karena gagal KB, dan 4 persen karena alasan kesehatan. Sebuah penelitian lain mengatakan kalau 41,2 persen alasan aborsi di antaranya karena jumlah anak sudah cukup, 16,1 persen karena anak terakhir masih kecil, dan 10,2 persen merasa belum siap memiliki anak.
Aborsi, aborsi, aborsi, aborsi. Seperti luka menganga yang terus dibiarkan terbuka, ia akan terus menghantui dunia sekitar kita. Dokter sebaik apapun tak mungkin bisa mengobati luka itu, karena mereka terikat dengan sumpah dokter dan kode etik yang melarang mereka melakukan aborsi, UU kesehatan no 23 tahun 1992, dan KUHP pasal 348 yang memberi ancaman pidana maksimal lima tahun.
Kalau dokter angkat tangan, bagaimana dengan ulama? Dapatkah mereka mengobati luka itu? Perbedaan mazhab terhadap aborsi memang diakui oleh para ulama. Tetapi, fatwa MUI terakhir mengatakan kalau aborsi hanya bisa dilakukan bila kehamilan disebabkan oleh kasus pemerkosaan, dengan syarat usia janin dalam kandungan belum mencapai 40 hari.
Bagaimana dengan Pemerintah? Selama para penyelenggara pemerintahan lebih berminat pada kemenangan Pemilu 2009 daripada kesejahteraan rakyat saat ini, adalah musykil untuk berharap pada mereka. Mereka akan terus menghindari topik-topik kontroversial seperti aborsi, karena takut mengurangi popularitas.
Kalau begitu, bagaimana nasib ibu rumah tangga di Surabaya yang aborsi akibat gagal ber-KB? Menurut dr Halim Suliantoro, permintaan aborsi untuknya meningkat setelah dr Edward Armando ditangkap 3 bulan lalu (Jawa Pos, 19 Juni 2007). Setelah dr Halim ditahan, siapa yang akan bertambah jumlah pasiennya?
Kalau saja simbah dukun dari lereng gunung itu datang ke Surabaya, mungkin saja ia akan mendapat keuntungan berlipat ganda. Dan luka akibat aborsi ilegal itu pun terus meradang dan terus melahirkan korban di antara perempuan Indonesia. Hukum Indonesia menutup pintu terhadap legalisasi, tetapi negara belum memberi jalan. Mereka seakan menutup mata kalau di luar pintu itu praktek aborsi yang tidak aman terus berlangsung. Bagaimana cara agar kita keluar dari kemelut ini?
Setiap pilihan jalan memiliki risiko yang harus ditempuh. Jika Anda termasuk dalam golongan yang anti legalisasi aborsi, maka Anda harus bekerja keras untuk mensejahterakan rakyat, membuat mereka lebih terdidik, menciptakan alat kontrasepsi dengan angka kegagalan serendah mungkin, menekan tayangan televisi dan majalah porno, membuat remaja sekitar rumah sungguh-sungguh bertakwa, menyuluh pendidikan seksual pada para ABG, dan hal-hal lain yang mencegah masyarakat berpikir kalau aborsi adalah solusi.
Sekolahkanlah anak tetangga yang tidak mampu, bagilah makanan pada kaum miskin, dan ajaklah anak-anak mereka berangkat ke tempat ibadah. Karena jika tidak, itu sama saja dengan menutup pintu secara tak bertanggung jawab. Sama saja dengan membiarkan luka itu terus membusuk. Dan kita merasa bersih, merasa suci di tengah bau busuk itu.
Bagaimana jika hati kecil Anda menyetujui legalisasi aborsi? Jika Anda tidak bermental baja, mungkin diam lebih baik. Sebab jika Anda bersuara, maka bersiaplah untuk mendapat cemooh, dicap sekuler, beriman kurang dan tak bertakwa saat menyuarakan hal itu. Bukan karena Anda tidak berhak untuk berpendapat seperti itu, karena sebagian ulama Islam mazhab Hanafi, Hambali, bahkan Syafii sepaham dengan Anda. Tapi, karena Anda tinggal di Indonesia, yang hukum negaranya jelas melarang aborsi kecuali atas indikasi medis, yang sebagian besar ulamanya tidak menyetujui aborsi legal.
Juga karena Anda menghirup udara Indonesia, yang sejak kecil para pemimpinnya memberi contoh untuk tidak menghargai perbedaan pendapat serta bangga dengan kebiasaan no action, talk only. Suatu kebiasaan yang sangat menular.
Termasuk kepada saya. Setahun lalu, seorang ibu beranak 3 menemui saya karena gagal ber-KB. Saat itu, anaknya yang bungsu berusia 6 tahun. Ia meminta agar kandungannya digugurkan. Sebagai manusia yang ingin terlihat baik, saya pun membujuknya untuk membatalkan niat, berlindung di balik dalil agama, moralitas, sumpah dokter, KUHP, dan UU. “Tapi Dok, suami saya sekarang tidak bekerja, siapa yang akan membiayai persalinan saya, siapa yang akan membelikan segala kebutuhan bayi ini?” Saya terdiam. Sungguh-sungguh terdiam. Ternyata seperti banyak orang lain, saya memilih menutup pintu, tapi tak bisa membuka pintu lain untuknya.
Saya tidak tahu apakah ia mengurungkan niatnya atau pergi ke praktik teman sejawat sejenis dr Edward atau dr Halim, mencari ibu bidan yang cukup nekat, atau bahkan terpaksa pergi ke lereng gunung menemui dukun ngawur mata duitan. Saya hanya sungguh berharap, apapun pilihannya, ia tidak akan berakhir seperti pasien saya dulu. Ah, saat ini sebagian besar kita hanya bisa menutup pintu. Siapa yang bisa membukanya?
thanks untuk mbak riana.. semoga artikelku bisa membuatmu berdamai dengan masa lalu..
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, kebijakan dunia kesehatan, manusia-manusia |
Bagus perlu digiatkan lagi. N sumber berita perlu ditulis. N mhn maaf saya jg masi ngikut krn masih tahap belajar. met sukses sll om dr.
halo, thanks for visiting my blog.
dukung kampanye post abortion syndrome y!
drpd ditutup banyak yang melanggar, legalkan saja toh ada batasan toleransi mana yang boleh naba yang tidak
daripada aborsi lebih baik dikasihkan orang yang butuh keturunan, kan menolong juga namanya
katanya banyak anak banyak rejeki, ngapain harus diaborsi, kan sayang juga
Setuju dengan Aan. Setuju juga dengan Ratih..
aborsi… sebuah masalah rumit dan kompleks yg menjadi pr kita bersama. namun sebelum menghakimi itu sebagai sebuah tindakan benar atau salah apa tidak sebaiknya kita melihat faktor dibalik pengambilan keputusan tersebut.
Dilegalkan atau tidak, rasanya nyawa pasien paling utama. Thanks udah ngangkat topik ini. Membuat kita jadi berfikir di pihak yang mungkin kita anggap negatif. Dilema yang harus semua orang sadari. Karena selama ini dokter dan pasien yang mengalami aborsi masih saja dianggap negatif tanpa tahu duduk perkaran di balik yang terjadi dan tanpa ada solusi yang diberikan untuknya.
mungkin harusnya hati nurani bicara,hati nurani sebagai ibu,hati nurani sebagai ayah,hati nurani masyarakat,hati nurani pemerintah,hati nurani hamba ALLAH.Bayangkan jika diri kita adalah bayi/janin dalam rahim itu…
janin juga berhak untuk hidup, jangan jadi eksekutor ,kehidupan mendatang terbentang luas, kesehatan dan pendidikan gratis ada, pencegahan kontrasepsi sering diabaikan padahal mereka berdalih gagal kb, penyelesaian masalahnya bukan aborsi. aborsi akan dilakukan terus bagi mereka yg keenakan aborsi, bagi dr: menolong apa ingin jasa yang menggiurkan?
Ga ada cara lain selain memperbaiki akhlak. Memahami agama Allah. Menaati perintah dan menjauhi laranganNya. Bnyk yg beragama islam tp ga bnyk yg mengimani yg sesungguhnya. Qt dilarang punya fikiran takut besok bisa makan apa tdk, bisa dibilang kurang berserah, tidak percaya Allah telah menyiapkan rizki setiap makhluknya. Apalagi takut nanti anaknya kalau lahir biaya hidupnya dari mana. Sungguh qt ga akan pernah tahu apa yg telah disiapkan Allah untuk qt, untuk anak2 qt, berbaik sangka saja, berdoa dan berusaha. Itu sajalah jawabannya